Menyoal Hari Kartini: Short-Escape Sehari bagi Perempuan Indonesia

sashabrina
5 min readApr 21, 2022

--

Karena momentumnya pas, saya akan sedikit berbagi bahan melamun saya pada pagi Hari Kartini tanggal 21 April tahun 2022, yaitu mengenai bagaimana kita menyikapi hari peringatan emansipasi wanita ini; apa yang nyata terjadi, apa yang kurang, apa yang seharusnya terjadi.

Di sosial media pasti bertaburan kiriman-kiriman memperingati Hari Kartini, lengkap dengan gambar RA Kartini, kadang dengan slogan “Habis Gelap Terbitlah Terang” dilatarbelakangi warna-warna feminin seperti merah muda atau kuning cerah. Instansi-instansi resmi seperti sekolah dan kantor pemerintah pun merayakan dengan cara mewajibkan baju kebaya — dinilai sebagai perlambang busana yang dikenakan RA Kartini, tidak yakin juga untuk apa — dikenakan oleh semua orang pada hari itu. Terkadang ada karnaval di jalan-jalan utama kota yang berisi anak-anak dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Dasar, memakai baju adat Jawa dan melambai-lambai ke ibu mereka di kerumunan.

Tentu saja menyaksikan semua perayaan yang penuh kegembiraan dan gegap gempita demi memperingati tokoh emansipasi wanita tersebut memberikan kebahagiaan bagi saya. Sebegitu dihargainya upaya untuk menyetarakan hak perempuan, hingga kelahiran sang tokoh pun dirayakan sebagai festive wajib di seantero negeri. Perempuan se-Indonesia tentu sedang berbunga-bunga hari ini, disanjung-sanjung dan dihargai keberadaannya dalam spektrum kesetaraan dengan gender lainnya yaitu laki-laki.

Ah, apa betul begitu?

Nyatanya, Hari Kartini saya amati hanya semacam cuti satu hari bagi para perempuan Indonesia. Kami diberi kelonggaran satu hari untuk dihargai setara, setelah itu, “ayo, balik ke kenyataan bahwa kalian harus berjuang di dunia milik laki-laki!”. Hari Kartini menjadi semacam Libur Nasional untuk Patriarki, dirayakan tiap 21 April saja. Setelahnya, patriarki kerja lagi, begitu terus hingga 21 April tahun depan.

Buktinya, setelah lima puluh delapan tahun kita merayakan Hari Kartini, kehidupan perempuan Indonesia tidak ada bedanya. Narasi RA Kartini mengenai kesetaraan hak terutama pendidikan bagi perempuan, tradisi feodal yang menindas kaum marjinal khususnya perempuan, dan kebiasaan perkawinan paksa dan poligami paksa di kalangan masyarakat adat, dan sebagainya, nyatanya tidak dihayati. Berbagai peristiwa tersebut masih sangat umum terjadi di masa kini. Anda mungkin berpikir, “Ah, tidak juga. Buktinya sekarang anak-anak perempuan lebih mudah sekolah bahkan sampai perguruan tinggi dan jadi professor,”. Mari menyelam ke ranah yang lebih sistemik dan kultural.

Seberapa sering Anda mendengar ujaran yang ditujukan kepada perempuan muda seperti; “Sudah umur tiga puluh, kenapa belum menikah? Nanti susah dapat suami, lho!”, “Kapan menikahnya kalau kuliah terus?”, “Kapan punya anaknya kalau mengurus karir terus? Suamimu, lho, diurusin!”, “Sudah, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti anakmu siapa yang mengurus?” dalam kehidupan sehari-hari? Seberapa sering Anda memikirkan bahwa pertanyaan-pertanyaan dan tuntutan-tuntutan yang kelihatannya sepele tersebut sebagai manifestasi dari kemampuan masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menghayati bahwa perempuan memiliki nilai bukan hanya ketika ia menjadi seorang istri, ibu, atau menantu.

Pelekatan identitas perempuan pada peran sosialnya baik sebagai ibu, istri, menantu, atau anak, membuat seolah-olah perempuan baru dipandang “bernilai” jika dan hanya jika ia melekatkan diri dengan status tersebut. Berbakti kepada orang tua, pulanglah ke rumah dan urus urusan domestik! Menikahlah, punya anak, berbakti kepada mertua! Baru kamu menjadi perempuan sejati!

Perempuan menjadi perempuan sejati ketika ia lahir. Titik. Tidak perlu ada embel-embel “menikah”, “melahirkan”, “menyusui”, “mengurus rumah tangga”, dan lain-lain. Apalagi disandingkan dengan kata-kata fitrah. Basi. If anything, perempuan menjadi lebih merdeka ketika ia terjamah pendidikan. Karena pendidikan bersifat deliberatif, ia memerdekakan pikiran dan perilaku siapapun yang menyentuhnya. Dengan melekatkan identitas-identitas tadi kepada perempuan, internalisasi nilai akan terjadi dalam diri perempuan yang membatasinya dari proses deliberasi diri. Sebentar lagi, kita akan ikut berpikir “Apa iya ya, aku tidak perlu sekolah tinggi-tinggi?”.

Narasi semacam itu membuat saya muak. Seolah kami memang dijauhkan dari pendidikan karena pendidikan memerdekakan pikiran kita, membuat kita paham apa artinya bebas dan punya pilihan, tidak terikat ke standar berpikir masyarakat mana pun. Seperti larangan dari kumpeni bagi pribumi untuk bersekolah atau belajar baca tulis, takut nanti pribumi bisa membaca buku-buku dan berita-berita, jadi pintar, lalu bergerak melawan, perempuan juga dijauhkan dari keinginan kuliah tinggi-tinggi, mengejar karir, lalu mendominasi. Taktik yang identik ini tentu saja dilakukan oleh penindas supaya yang ditindas tidak paham bahwa dirinya sedang ditahan.

Memang betul sekarang tidak ada aturan tertulis yang melarang perempuan sekolah sampai S3, tidak ada aturan tertulis yang melarang perempuan bekerja di lahan dan tingkat yang sama dengan laki-laki, tidak ada aturan tertulis yang mendikte perempuan untuk di rumah saja mengurus dapur — dan saya sepenuhnya menghargai keputusan perempuan yang memilih itu semua untuk dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari manapun — . Akan tetapi penindasan-penindasan dan larangan-larangan itu tertulis secara kultural dan sistemik di dalam tubuh masyarakat kita sendiri, diucapkan oleh orang tua kita sendiri, dilanggengkan oleh tetangga-tetangga kita sendiri. Hal ini bisa lebih mengikat daripada aturan tertulis.

Lima puluh delapan tahun Hari Kartini seharusnya sudah bisa mengantarkan kita kepada realisasi bahwa perempuan sepatutnya punya pilihan. Pilihan-pilihan yang tidak diikuti dengan bisik-bisik “ngapain juga kuliah, nanti sama suaminya disuruh di rumah”, akan tetapi diikuti dengan “mau berakhir di rumah, di kantor, di pasar, di mana pun, perempuan itu pasti bebas dan merdeka karena diperbolehkan memilih sesuai keinginannya tanpa tekanan apapun”. Kemerdekaan perempuan sepatutnya dirayakan setiap hari.

Sering juga mendengar, “ada hari ibu, kenapa tidak ada hari bapak?” atau “ada Hari Kartini, kenapa tidak ada Hari Soekarno, Moh. Hatta, atau pahlawan laki-laki lain? Katanya setara, kok yang diperjuangkan perempuan melulu?”. Langkah pertama, ketawain saja. Langkah kedua, apabila mungkin, jelaskan begini. Bukankah harusnya ironis bahwa negara perlu membuat hari khusus untuk memperingati emansipasi wanita? Itu artinya ada satu titik di mana perempuan tidak semerdeka sekarang dan itu karena keperempuanannya, itulah mengapa diperlukan proses emansipasi. Coba sekarang bandingkan dengan laki-laki. Mengapa tidak ada emansipasi laki-laki? Jawabannya hanya satu dan sangat jelas; karena laki-laki tidak pernah harus menderita karena kelaki-lakiannya. Laki-laki tidak butuh emansipasi karena ia tidak pernah harus menanggung penindasan apapun karena terlahir laki-laki. Langkah ketiga, pergi. Tidak ada untungnya berdebat mengenai perempuan dengan seseorang yang tidak mengerti pengalaman perempuan. Mohon diingat tiga langkah di atas.

Hari Kartini seharusnya menciptakan hal-hal berikut: ruang aman bagi perempuan untuk tidak direndahkan hanya karena ia perempuan, ruang diskusi yang terbuka dan inklusif bagi pengalaman-pengalaman perempuan, laki-laki yang paham hak privilesenya sebagai pihak dominan, masyarakat yang tidak judgemental akan pilihan-pilihan perempuan, dan penghayatan terhadap kehidupan RA Kartini secara sistemik dan kultural. Bukan sekadar memakai kebaya dan berslogan “Habis Gelap Terbitlah Terang” di sosial media. Selebihnya, emansipasi wanita harus dirayakan oleh semua orang setiap hari.

Selamat Hari Kartini! Semoga kita merdeka dari pikiran hingga perbuatan.

--

--