Mengapa Penyintas Kekerasan Seksual Kerap Kali Disalahkan?

sashabrina
7 min readSep 16, 2020

--

Peringatan : tulisan di bawah mengandung istilah-istilah yang mungkin akan memicu ketidaknyamanan beberapa dari Anda. Lanjutkan membaca apabila Anda merasa yakin saja.

sumber ilustrasi : https://id.pinterest.com/pin/9710955433497675/

Untuk membersihkan kebingungan dari istilah yang baru-baru ini terangkat bersama topik kekerasan seksual yaitu “penyintas”, biarkan saya menjelaskan artinya. Penyintas berasal dari kata “sintas” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya” (KBBI, n.d.). Dalam Bahasa Inggris, penyintas memiliki translasi “survivor”, yang berarti orang yang selamat atau bertahan (Lektur.id, n.d.). Dalam konteks pembahasan kali ini, saya akan membahas penyintas kekerasan seksual, yang berarti orang-orang yang bertahan setelah mengalami kekerasan seksual.

Lalu mengapa menggunakan istilah “survivor” alias orang yang “bertahan”? Apakah ada orang yang tidak selamat setelah mengalami tindak catcall atau pencabulan? Ini ada hubungannya dengan mengapa saya memakai istilah “kekerasan seksual” alih-alih “pelecehan seksual”. Tanpa kita sadari, kekerasan seksual memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Setidaknya ada lima belas jenis kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan, salah satunya adalah pelecehan seksual (Komnas Perempuan, n.d.). Sisanya adalah kekerasan-kekerasan yang seringkali berada jauh dari perkiraan kita, seperti perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, prostitusi paksa, dan sebagainya. Kekerasan-kekerasan ini memiliki kemungkinan dimana korban yang mengalami tindak tersebut tidak selamat atau tidak bertahan. Maka orang-orang yang selamat diberi istilah yang berbeda yaitu penyintas.

Sering kita dengar orang-orang berkomentar di kolom berita tindak kekerasan seksual seperti “Ya, salah siapa berpakaian seksi?” atau “Mengapa tidak melawan, apa korbannya juga menikmati?” atau juga “Makanya pakai jilbab supaya tidak diperkosa!”. Hal-hal di atas — atau yang sefrekuensi meskipun dengan bahasa yang lebih halus seperti misalnya “InshaAllah kalau memakai hijab tidak akan terjadi, maaf hanya mengingatkan” — menjurus ke tindakan victim-blaming atau penyalahan kepada penyintas.

Kasihan sekali, saya pikir, sudah diperkosa masih disalahkan pula. Sayangnya masyarakat kita masih menganggap hal ini sebagai sebuah persoalan remeh. Mari ubah pola pikir tersebut. Jika seorang ibu atau ayah mendapati anaknya terjatuh lalu pura-pura memarahi batu yang menyandungnya padahal itu jelas salah Sang Anak yang kurang hati-hati, lalu mengapa saat seseorang mengalami kekerasan seksual orang-orang malah menyalahkannya padahal itu jelas salah Sang Pelaku?

Mari kita tilik mengapa orang-orang berpikir bahwa menyalahkan penyintas kekerasan seksual adalah wajar dan benar.

Satu, khusus jika penyintas adalah perempuan, terdapat konstruksi sosial yang sudah mengakar di masyarakat tentang perempuan sebagai simbol kesucian dan keperawanan. Maka saat keperawanan atau kesucian itu “rusak” — dengan cara apapun — perempuan menjadi aib yang harus dipertanyakan kesungguhannya dalam menjaga kesucian dirinya.

Dua, masyarakat percaya bahwa cara penyintas berpakaian memiliki korelasi kuat terhadap bagaimana ia bisa dilecehkan. Selain budaya ketimuran yang mendukung budaya berpakaian tertutup, kita juga kerap kali mendengar syariat Islam menjadi tameng yang melindungi tindakan victim blaming ini khususnya perempuan, lebih spesifiknya kepada Q.S. An-Nur(24) ayat 31 yang berbunyi “…Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…” (tafsirweb, n.d.).

Tiga, masyarakat menuduh bahwa korban yang mengalami kekerasan seksual perlu dipertanyakan konsensus atau persetujuannya ketika terjadi tindakan kekerasan seksual. Tuduhannya adalah bahwa jangan-jangan penyintas juga menikmati hal tersebut, sebab tidak melawan.

Empat, lagi-lagi khusus untuk penyintas perempuan, terdapat justifikasi kolektif bahwa laki-laki memikirkan tentang seks lebih sering daripada perempuan dan itu sudah menjadi sifat alamiah laki-laki yang tidak bisa dihindari. Maka dari itu, perempuanlah yang perlu mengalah dan harus menjaga diri.

Lima, yaitu cara media memberitakan kasus kekerasan seksual. Media massa bisa dibilang menyetir opini public tentang segala hal, yang menyebabkan institusi media dan jurnalistik perlu ekstra hati-hati dalam memilih kata dan menyusun kalimat yang akan membentuk reaksi publik. Yang sering kita lihat di media ketika ada pemberitaan kasus kekerasan seksual adalah “Bocah usia 12 tahun dicabuli pamannya karena memakai baju pendek di rumah” atau “Pelaku akui perkosa korban karena tergoda dengan bentuk tubuhnya” dan lain-lain.

Enam, dan kemungkinan besar yang punya andil paling kuat, yaitu budaya patriarki yang sudah mengakar dalam. Mari kesampingkan peran perempuan dalam kursi politik, atau peran perempuan dalam rumah tangga. Mari fokus ke hal-hal kecil yang sering kita anggap tidak penting yang sebetulnya, hal-hal kecil ini membentuk mindset kita tanpa kita sadari. Lelucon-lelucon yang mengekspresikan candaan kepada bentuk tubuh perempuan misalnya. Atau juga penggambaran karakter fiksi perempuan dengan aspek seksual yang dilebih-lebihkan — apalagi saat pemasarannya sebagian besar ke laki-laki.

Langkah berikutnya dari tulisan ini adalah mari coba runtuhkan alasan-alasan itu satu persatu.

Konsep keperawanan dan kesucian yang menganggap bahwa perempuan berharga hanya ketika dirinya masih perawan, bersifat sangat misoginis. Konsep ini dilanggengkan oleh kaum misoginis –pembenci perempuan dan anak-anak — yang berpikir bahwa semua hal perlu menjadi men-centered alias dunia ini haruslah berputar mengelilingi kaum laki-laki, termasuk harga diri seorang perempuan. Dipandang dari perspektif manapun, konsep ini menggelikan dan tidak masuk akal.

Mengenai norma, selalu saja oknum penganutnya yang salah. Quran Surah An-Nur (24) ayat 31 memang menyariatkan kepada perempuan — khususnya Muslimah — untuk menutup aurat dengan benar sesuai perintah Allah SWT. Tapi tampaknya beberapa orang terburu-buru pulang atau pura-pura tuli ketika Quran Surah An-Nur (24) ayat 30, benar-benar hanya satu ayat sebelumnya, menyariatkan dengan jelas berbunyi “… “Katakanlah -wahai Rasul- kepada kaum laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandanganya dari melihat hal-hal yang tidak halal bagi mereka seperti wanita dan aurat, dan hendaknya memelihara kemaluan mereka agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram dan (tidak) menyingkapnya…” (tafsirweb, Quran Surat An-Nur Ayat 30, n.d.). Artinya, kedudukan dan kewajiban kaum laki-laki dan perempuan muslim seimbang dalam hal saling menjaga diri, tidak diwajibkan kepada perempuan saja. Hal ini semata-mata merupakan miskonsepsi oknum-oknum beragama yang mencoba mencungkil dalil dari kitab suci dan memotong di bagian yang akan menguntungkan kelompoknya saja tanpa membaca dan mengkaji secara utuh. Oops, tampaknya ada yang harus belajar mengaji lagi, ya!

Tuduhan bahwa penyintas yang tidak mampu melawan pelaku kekerasan seksual adalah karena mereka juga ikut menikmatinya dan diam saja, adalah salah. Sebuah studi psikologi merumuskan ada serangkaian perasaan yang dialami penyintas kekerasan seksual ketika tindak kekerasan tersebut sedang terjadi. Tonic immobility atau kelumpuhan sementara terbukti menjadi alasan mengapa tidak semua penyintas bisa melawan balik saat kekerasan seksual terjadi. Sebuah studi dari Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica (AOGS) membuktikan bahwa dari 298 perempuan, 70% dilaporkan mengalami serangan kelumpuhan signifikan, dan bahkan 48% dengan intensitas kelumpuhan yang lebih hebat. Kelumpuhan selama tindak kekerasan seksual adalah reaksi umum yang terkait dengan gangguan stress pascatrauma dan depresi berat akibat dilecehkan (Moller, 2017).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brian Munstanski, Ph.D, laki-laki memikirkan kebutuhan biologis yang lain seperti makan dan tidur lebih banyak daripada perempuan, begitu juga dengan seks (Brian Munstanski, 2011). Maka urban legend yang mengatakan bahwa laki-laki hanya memikirkan seks karena itu sifat alami mereka, terbukti salah. Laki-laki memikirkan kebutuhan biologis lain selain seks, dalam jumlah yang lebih intens daripada perempuan. Yang mengganggu pikiran saya adalah mengapa para laki-laki justru merendahkan kaumnya sendiri dengan menjustifikasi bahwa “sifat alamiah” ini lalu memperbolehkan mereka untuk melakukan kekerasan seksual? Hal ini justru menurunkan derajat laki-laki sebagai manusia beradab yang tidak hanya memiliki napsu tapi juga dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan. Mengapa begitu bangga menyamakan kaum mereka dengan hewan?

Selanjutnya, kita perlu memperbaiki etika media massa dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, karena kata-kata media adalah senjata paling kuat untuk membentuk opini publik. Selain perlu 100% persetujuan dari penyintas untuk memberitakan hal tersebut, media juga perlu mengganti diksi-diksi yang memusatkan perhatian ke penyintas. Alih-alih, media bisa mengganti kata kerja pasif “diperkosa” atau “dilecehkan” menjadi kata kerja aktif supaya memusatkan perhatian pembaca kepada pelaku, bukan korban. Selain itu, media tidak perlu memberi detail-detail tidak perlu seperti alasan pelaku atau pakaian korban, karena hal ini seolah menjustifikasi tindak kekerasan seksual.

Yang terakhir adalah bagaimana kita meruntuhkan patriarki itu sendiri. Tentu saja sulit, sebab hal-hal remeh yang sudah kita bahas tadi terlanjur terinternalisasi ke dalam pola pikir masyarakat kita dan dinormalisasi di tengah-tengah kehidupan. Kita perlu lebih berhati-hati ketika mengekspresikan candaan dan menghindari lelucon yang menjurus ke pelecehan seksual, serta berhenti menjadikan perempuan sebagai objek seksual, misalnya dengan menciptakan karakter fiksi yang melebih-lebihkan aspek seksual seorang perempuan, seperti yang marak dilakukan di game-game online atau serial anime serta film-film.

Hanya ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi orang yang tidak bisa memahami pihak yang tertindas dalam suatu kasus; bahwa mereka kurang peka dan tidak mengkaji fenomena itu, atau mereka adalah salah satu penindas itu sendiri. Mari jauhi sebisa mungkin kedua kemungkinan tersebut dengan terus memperjuangkan hak-hak penyintas kekerasan seksual dengan segala cara, termasuk dengan berhenti menyalahkan penyintas kekerasan seksual.

Sebagai pernyataan penutup, saya akan berusaha mencantumkan kontak lembaga-lembaga yang bisa dihubungi untuk mengadukan tindak kekerasan seksual maupun untuk melakukan konsultasi mengenai masalah ini. Semoga bermanfaat!

· Lembaga Bantuan Hukum APIK

o Twitter https://twitter.com/LBHAPIK serta:

o Phone: 021–87797289

o Fax: 021–87793300

o Hotline: 0813–8882–2669 (WA)

o Email: Lbh.apik@gmail.com

· Koalisi Perempuan Indonesia

o Website: https://www.komnasperempuan.go.id/

o Twitter: https://twitter.com/KomnasPerempuan

o Telepon: 021–3903963

o Surel: mail@komnasperempuan.go.id

· Yayasan Lentera Sintas Indonesia

o Twitter, https://twitter.com/lenteraID serta:

o Website: https://www.sintas.org/

o Email: info@lenteraindonesia.org

· Komnas Perempuan

o Website: https://www.komnasperempuan.go.id/

o Twitter: https://twitter.com/KomnasPerempuan

o Telepon: 021–3903963

o Surel: mail@komnasperempuan.go.id

References

Brian Munstanski, P. ( 2011, December 6). How Often Do Men and Women Think About Sex? How Often Do Men and Women Think About Sex? Pshycology Today.

KBBI. (n.d.). Arti kata sintas. Retrieved from Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): https://kbbi.web.id/sintas

Komnas Perempuan. (n.d.). 15 Btk kekerasan seksual. Retrieved from Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan : https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Kekerasan%20Seksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf

Lektur.id. (n.d.). Arti Kata Survivor. Retrieved from Lektur.id: https://lektur.id/arti-survivor/

Moller, A. (2017, June 7). Tonic immobility during sexual assault — a common reaction predicting post‐traumatic stress disorder and severe depression. Tonic immobility during sexual assault — a common reaction predicting post‐traumatic stress disorder and severe depression. Stockholm: AOGS.

tafsirweb. (n.d.). Quran Surat An-Nur Ayat 30. Retrieved from tafsirweb: https://tafsirweb.com/6158-quran-surat-an-nur-ayat-30.html

tafsirweb. (n.d.). Quran Surat An-Nur Ayat 31. Retrieved from tafsirweb: https://tafsirweb.com/halaman

--

--