Lebaran adalah Neraka bagi Perempuan.
Tuntutan. Tuntutan-tuntutan itulah yang menyebabkan lebaran terasa seperti neraka bagi perempuan. Lebaran mestinya berarti kemenangan bagi semua yang telah sebulan menomorduakan ego, namun rupanya bagi perempuan, lebaran justru adalah manifestasi dari kekalahan-kekalahan. Di saat lebaran, semua hal mengalahkan kami. Tidak ada rasa menang atau berjaya sebab di saat lebaran, seolah-olah semesta bersekongkol untuk menjatuhkan kami.
Dini hari memasak rendang, opor, dan ketupat, sementara para suami dan anak lelaki bersenda gurau di ruang tamu, beralasan “tak usahlah kami membantu, nanti makin repot kalian dibuatnya”. Pagi buta menyiapkan mukena dan sarung orang serumah, sampai tak sempat makan pagi. Pulang sembahyang perlu menata meja dan cemilan, sebab jika ada debu atau kotoran sedikit, “nama keluarga” yang dianggap buruk oleh tetangga. Bertemu tamu pun harus bersolek, sebab jika terlihat jelaga dapur atau bekas kelelahan dari semalam mengaduk kuah santan dan menggosok pantat periuk, perempuan akan dianggap tak bisa jaga diri. Sudah bersolek pun belum tentu selamat — ada pembunuh berkeliaran; apalagi kalau bukan pertanyaan mengenai berat badan!
“Berapa beratmu sekarang ini? Badanmu menggemuk seperti sapi!”. Bukan sekali dua kali, pertanyaan itu semacam mantra dirapalkan paling tidak seribu kali. Semua perempuan dapat, yang tua, yang muda, yang sarjana maupun yang SMA, yang menulis buku beratus-ratus jilid, yang belajar di negeri orang hingga ijazah bertumpuk sampai langit-langit, yang bekerja di ibukota sampai tulang punggung mau remuk, yang berperang dengan bisik-bisik di kepala. Tidak ada yang menanyakan “sekolahmu sampai mana”, “bijakmu tentang masalah ini seperti apa”, atau “bagaimana pengalaman pergi ke kota A”. Seolah pencapaian, pengalaman, dan kehidupan perempuan tidak berarti di balik tabir “berat badan”. Kalau terlalu gemuk atau terlalu kurus, tak usahlah kau sekolah tinggi-tinggi, seolah begitu maksud pertanyaan itu.
Perempuan yang belum kawin, dituntut cepat kawin — seolah nilai diri kami hanya akan berarti setelah terikat pada seorang lelaki — . Perempuan yang sudah kawin tapi tak lagi punya bayi, dituntut cepat hamil — seolah nilai diri kami hanya akan berarti setelah dihamili, melahirkan lalu menyusui — . Perempuan yang sudah punya bayi tapi tak sempurna, dituntut punya bayi lagi — seolah 1 anak belum cukup, seolah nilai kami hanya akan berarti setelah punya selusin anak-anak yang sempurna.
Belum selesai sampai di situ, perempuan masih harus beberes rumah yang ditinggalkan seperti kapal pecah, sementara para suami dan anak lelaki sudah terlalu lelah. Dikhianati semesta di hari kemenangan, akhirnya perempuan beranjak tidur dengan badan yang lebam dan hati yang lebih lebam. Hari esok masih menanti, jangan sampai bangun kesiangan! Anak perawan yang bangun kesiangan tak akan punya suami!
Mirisnya adalah bahwa tuntutan-tuntutan itu keluar dari mulut perempuan kepada perempuan lain. Luka diri mereka yang belum sembuh mengakibatkan amarahnya salah sasaran. Alih-alih mempertanyakan mengapa harus peduli dengan berat badan — atau jerawat atau rambut keriting atau kulit gelap — para perempuan malah mengulang lingkaran setan menanyakan hal yang sama pada anak-anaknya, saudari-saudarinya, cucu-cucunya, kemenakan-kemenakannya. Alih-alih mengumpat “peduli setan aku dengan tuntutanmu” para perempuan malah membalas dendam dengan menuntut perempuan-perempuan lain.
Sedih sekali menjadi perempuan di negeri ini; momen-momen mendebarkan dan menjengkelkan bagi orang lain, berimbas 2x lebih menyakitkan untuk kami. Marah sekali menjadi perempuan di negeri ini; dipaksa mengerjakan semua tapi tidak pernah dianggap ada. Muak sekali menjadi perempuan di negeri ini; dipaksa peduli terhadap omong kosong yang diciptakan kaum kami sendiri.
Lebaran mestinya berarti kemenangan. Lebaran mestinya bukan neraka bagi perempuan.