Jerusalem; Perebutan Identitas dan Tanah Air di Jantung Konflik yang Berdarah-darah: (bagian 2) Linimasa

sashabrina
2 min readMay 18, 2021

--

Sebagai pengenalan konteks, perlu dicatat bahwa wilayah Palestina mengecil tahun demi tahun. Teritori awalnya yaitu semua tanah bekas pendudukan kekaisaran Ottoman yang kosong kekuasaan sebab kekalahan Ottoman pada Perang Dunia I (1917). Wilayah selanjutnya bernama British Mandate-Palestine (1922), lalu karena exodus besar-besaran kelompok Yahudi dari Eropa selama Perang Dunia II untuk menghindari diskriminasi ras di Eropa, PBB menyelesaikan kemungkinan konflik ini dengan perjanjian teritori baru bernama UN Partition Plan (1947) yang membagi wilayah tersebut menjadi milik Palestina (Tepi Barat dan Gaza) dan Israel (memisahkan kedua bagian Palestina di atas). Merasa dirugikan, konflik pecah antara Palestina dan Israel, bernama Perang Enam Hari. Kejadian-kejadian setelahnya merupakan rangkaian protes dan serangan-serangan dari kedua belah pihak dengan alasan masing-masing. Sebagai penyelesaian dari peristiwa Intifadhah (Arab; pelepasan) Pertama pada 1987–1993, diadakan Oslo Accord yang ditandatangani oleh Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin, difasilitasi pemerintah Norwegia di bawah naungan PBB. Hasil dari Oslo Accord ini menyatakan bahwa ada tiga sistem partisi di Tepi Barat, yaitu area A (dimana diperintah secara keseluruhan oleh Palestinian Authority), area B (diperintah oleh Palestinian Authority tapi dijaga oleh militer Israel), dan area C (diperintah seluruhnya oleh pemerintah Israel). Hasil perjanjian yang dianggap semakin mempersempit teritori sekaligus kedaulatan Palestina ini bersambung ke kejadian Intifadhah Kedua (2000–2005).

Warna hijau pada peta menunjukkan betapa wilayah Palestina mengecil dari waktu ke waktu, dari mulai Historic Palestine yang merupakan wilayah bekas pendudukan British (Palestine British Mandate), UN Partition Plan, dan selanjutnya. (sumber: Scene Arabia).

Seluruh rangkaian ketegangan ini memuncak pada 2017 saat Presiden Trump memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari Kota Tel Aviv ke Jerusalem, dan mengklaim Jerusalem sebagai ibukota Israel. Masih dipertanyakan apa dampak berkepanjangan dari tindakan Presiden Trump ini. Beberapa memprediksi akan meletus lagi aksi protes, bahkan bisa memicu Intifadhah Ketiga.

Baru-baru ini, tahun 2021, eskalasi konflik mengalami lonjakan signifikan. Dimulai dengan pengusiran paksa beberapa kepala keluarga Palestina dari tempat tinggalnya di Syeikh Jarrah, Jerusalem Timur oleh tentara Israel, konflik kemudian meningkat dengan serangan terhadap jamaah shalat tarawih (sembahyang khusus di bulan Ramadan bagi Umat Islam) di Masjid Al-Aqsa, hanya beberapa hari sebelum Idul Fitri. Serangan ini menyulut demonstrasi dari rakyat Palestina di berbagai tempat. Sebagai puncaknya, konflik kekerasan terjadi di Gaza, dan menyebabkan ratusan orang kehilangan nyawa.

Linimasa ini menunjukkan bahwa Jerusalem menjadi pusat terjadinya praktik kekerasan dan peperangan, padahal menurut sejarah, Jerusalem harusnya menjadi kota suci bukan hanya bagi Muslim, tapi juga Umat Kristiani dan Yahudi. Tempat yang harusnya menjadi tempat paling suci di dunia ini justru sekarang dipenuhi dengan gambaran-gambaran mengenai kekerasan, perpecahan, dan perang. Perebutan Jerusalem juga berkembang dari sekadar perebutan tanah menjadi pembuktian akan identitas dan hegemoni militer.

Bagian selanjutnya merupakan analisa lebih dalam mengenai peran-peran pihak yang berwenang dalam menghadapi konflik ini.

(bersambung)

--

--