Captain Fantastic: Buku Petunjuk Cara Membesarkan Anak

sashabrina
7 min readMar 5, 2023

--

Viggo Mortensen (Green Book, Lord of The Rings) menyajikan akting yang brilian di film Captain Fantastic (dir. Matt Ross, 2016), begitu juga George Mackay (Ophelia, 1917), Shree Crooks (Stephanie, The Glass Castle), dan aktor-aktris lain yang dikombinasikan dalam film keluaran studio distribusi Bleecker Street ini. Pendalaman karakter merekalah — didukung oleh penulisan yang cakap — menjadikan penulis secara pribadi menyesal mengapa tidak menonton sajian ini lebih awal. Namun, setengah dari diri penulis bersyukur, sebab bertepatan dengan penulis menonton Captain Fantastic, isu mengenai parenting sedang merebak terutama di tengah-tengah para pengguna internet. Kesadaran akan isu ini ditandai dengan munculnya diskursus-diskursus mengenai teknik parenting, trauma masa kecil, hingga akhirnya merembet ke masalah keputusan pasangan untuk memiliki anak atau tidak memiliki anak. Opini penulis tentang parenting pun ikut terombang ambing bersama diskursus ini. Namun, setelah menonton Captain Fantastic, setidaknya penulis tahu bagaimana penulis, secara pribadi, ingin membesarkan anak — jika suatu saat penulis memutuskan untuk memiliki anak.

Plot dari film ini cukup sederhana, premisnya dimulai ketika Ben Cash (Mortenssen) membesarkan 6 anaknya sendirian untuk sementara; Bodevan (Mackay), Kielyr (Isler), Vespyr (Basso), Rellian (Hamilton), Zaja (Crooks), dan Nai (Shotwell), karena istrinya Leslie (Miller) dirawat di rumah sakit. Ben dan Leslie merupakan aktivis left-wing anarchist, yang secara radikal percaya bahwa segala macam justifikasi terhadap pihak otoritas yang berdaulat atas masyarakat adalah omong kosong, dan revolusi sipil perlu dilakukan demi mewujudkan masyarakat yang egaliter — pendeknya, hardcore sosialisme. Mereka berdua menikah lalu memutuskan untuk hidup sebagai survivalist di kedalaman hutan Washington, untuk menjauhkan diri dari segala macam gaya hidup kapitalistik modern. Keenam anak mereka dibesarkan di tengah hutan, diajarkan untuk berpikir kritis tentang pemikiran-pemikiran dari para ahli politik di seluruh dunia, menguasai kemampuan dasar bertahan hidup di alam, dan menghindari ketergantungan terhadap teknologi buatan manusia. Ketika Leslie akhirnya wafat karena bunuh diri, Ben seorang diri mencoba bertahan untuk meneruskan caranya membesarkan anak-anak mereka, namun dipaksa oleh keadaan untuk mengekspos keluarganya ke dunia luar yang selama ini mereka jauhi.

Sekuensi yang menarik dari film ini adalah ketika anak-anak berinteraksi untuk pertama kali dengan “orang normal” yaitu adik Ben, Harper (Hahn) dan keluarganya. Di sinilah penonton benar-benar memahami prinsip-prinsip dan gaya parenting Ben. Saat Kielyr, putri Ben yang beranjak remaja membaca buku Lolita (Vladimir Nabokov, 1955), ia menanyakan sebuah istilah yaitu “bordello” kepada sang Ayah. Ben menjelaskan dengan berkata “it’s a whorehouse” — itu adalah sarang pelacur. Cara dan pilihan diksi Ben untuk menjelaskan kepada remaja yang baru menginjak umur pubertas mungkin tidak benar-benar cocok dengan keyakinan beberapa orang, yang cenderung akan menggunakan eufisme seperti misalkan “it’s a brothel” “itu adalah bordil” atau “it’s a localization of sex workers” “itu adalah lokalisasi pekerja seks”. Kemudian, sang Adik, Zaja yang baru berumur 8 tahun menanyakan tentang arti kata yang baru ia pelajari, “rape”, dan sang Ayah menjawab tanpa tedeng aling-aling, bahwa pemerkosaan adalah pemaksaan untuk berhubungan seksual, ketika laki-laki memasukkan penisnya ke dalam vagina perempuan. Obrolan ini bisa menjadi kontroversial bagi sebagian orang, terutama para orangtua yang menganggap bahwa pendidikan seks bagi anak perlu dilakukan dengan sehati-hati mungkin. Skena selanjutnya yang sangat menarik adalah bagaimana Harper menjawab anak-anaknya yang menanyakan bagaimana bibi mereka, Leslie, wafat. Harper, sebagaimana para orangtua normal lain, menjawab dengan sangat hati-hati dan menggunakan bahasa kiasan, mengatakan bahwa Bibi Leslie sangat sakit meskipun sudah dirawat oleh dokter, itulah mengapa ia meninggal. Ben dan anak-anaknya, menyanggah dengan mengatakan terang-terangan bahwa Leslie menderita bipolar, dan sering mengalami depresi berat yang membuatnya pada akhirnya bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya sendiri. Harper yang terguncang lalu berdebat dengan Ben, tentang bagaimana anak-anak tidak selalu siap dengan konsep-konsep tertentu — mengenai tragedi, kekerasan, dan lain-lain. Tindakan Ben menguatkan skena sebelumnya, tentang bagaimana ia menghindari eufisme untuk menjelaskan konsep-konsep baru kepada anak-anak, karena menurutnya, “kata-kata hanyalah kata-kata” — terbukti juga dengan bagaimana ia secara eksplisit menggunakan umpatan di depan anak-anaknya. Esoknya, Harper Kembali mengkonfrontasi Ben tentang bagaimana ia membesarkan anak secara “liar”, padahal anak-anak secara umum membutuhkan pendidikan. Ben kemudian memanggil anak-anak Harper dan juga anaknya sendiri, lalu — ini skena favorit saya — menanyai masing-masing anak mengenai pengetahuan mereka tentang Bill of Rights. Anak-anak Harper — yang pergi ke sekolah umum dan tentu saja terekspos kepada segala macam pengetahuan dan kemudahan akses — tidak bisa menjawab dengan benar, sementara Zaja membuktikan wawasannya tentang Bill of Rights, dan bahkan lebih jauh tentang undang-undang yang baru dikeluarkan pemerintah. Skena ini membuktikan bahwa Ben pun memberi anak-anaknya akses pada pendidikan — yang terbukti lebih efektif daripada pendidikan umum di sekolah formal. Homeschooling yang ia dan istrinya terapkan terbukti berhasil menyaingi sistem Pendidikan biasa.

Jika Anda hanya membaca ulasan saya ini, Anda mungkin akan berpikir bahwa Ben adalah contoh yang buruk bagi para orangtua. Anda perlu menonton filmnya untuk benar-benar melihat betapa Ben — setidaknya menurut saya — adalah contoh terbaik bagi orangtua yang ingin membesarkan anaknya. Mengapa demikian?

Akhir-akhir ini, marak istilah gentle parenting, yaitu teknik membesarkan anak dengan kelembutan. Teknik ini didasari dengan ide bahwa cinta kasih perlu diwujudkan dengan cara yang juga penuh kasih, apalagi jika ditujukan kepada anak-anak di bawah umur yang secara umum masih belum bisa mencerna logika orang dewasa. Awalnya saya berpikir gentle parenting adalah cara paling cocok untuk membesarkan anak. Apalagi jika menilik bagaimana gentle parenting menghasilkan anak-anak yang tumbuh menjadi orang-orang yang penuh pengertian, sabar, dan lembut di kemudian hari. Gentle parenting juga meminimalisir kekerasan di masa kecil anak, sesuatu yang nantinya akan membuat anak mengalami trauma berkepanjangan. Praktik gentle parenting pun menjamur, seiring dengan terbukanya pola pikir masyarakat akan gaya parenting terbaik untuk sang buah hati. Para orangtua mulai berhenti mendisiplinkan anak-anaknya dengan kekerasan baik fisik maupun verbal. Hal ini tentu saja pertanda baik bagi masa depan generasi muda. Namun, seiring perkembangannya, pengertian masyarakat akan gentle parenting menjadi salah kaprah. Gentle parenting seolah-seolah berarti memelankan suara dan memasang wajah lembut ke anak, bahkan ketika anak berbuat salah. Jika hal ini dibiarkan, anak akan menganggap enteng dampak akan kesalahannya dan tidak akan paham mengenai konsep konsekuensi. Gentle parenting tidak boleh diartikan sebagai cara lembek untuk mendidik anak, ia perlu diartikan sebagai cara mendidik yang nirkekerasan. Jangan sampai ketika anak memecahkan piring atau menabrak orang lain ketika berlarian, kita tersenyum lalu berkata dengan suara manis “tidak apa-apa, Sayang”. Alih-alih, kita perlu tegas dan menunjukkan bahwa tindakannya barusan berpotensi membahayakan dirinya dan juga orang lain, maka tidak bisa diulangi atau jika perlu diulangi, lakukan dengan hati-hati.

Ben Cash, dalam film ini, menunjukkan hal itu dengan sempurna. Ia tidak selalu memasang senyum, bahkan perannya sebagai ayah cenderung tegas dan keras. Ben mendisiplinkan anak-anaknya mengenai ketepatan waktu, keharusan berpikir kritis, dan pola hidup sehat yang harus selalu dipertahankan. Di dalam film, beberapa kali ditampilkan Ben memarahi anak-anaknya karena melanggar kode disiplin itu, menekankan bahwa kepatuhan adalah hal esensial dalam keluarganya. Sebagai orangtua, hal ini diperlukan — bahkan bagi seorang sosialis yang membenci hierarki sosial, sebab orangtua diyakini tetap memiliki peran sentral dan superior dalam kehidupan anak-anaknya, setidaknya hingga mereka menjadi orang dewasa.

Hal lain yang membuat Ben Cash menjadi suri tauladan yang pas, adalah kemampuannya mengakui kesalahan. Sebagian besar masalah yang muncul di dalam diskursus parenting adalah orangtua yang enggan mengakui bahwa dirinya salah, yang mana akan mencegah perkembangan pada proses parenting itu sendiri. Pengedepanan ego orangtua acapkali membuat anak — yang seharusnya didahulukan — menjadi perhatian nomor dua. Di paruh akhir film, Ben Cash menyadari bahwa gaya parentingnya yang bebas, keras, dan eksentrik mungkin menurutnya cocok. Akan tetapi, Ben disadarkan bahwa hidup tidak mengizinkan seseorang untuk statis. Ia harus berkembang. Maka bagaikan aliran sungai, Ben mengubah gaya parenting — yang juga kemudian mengubah gaya hidup dan prinsipnya — mengikuti kebutuhan anak-anaknya. Sifat ini dibutuhkan bagi para orangtua, yang meski menginginkan yang terbaik bagi anaknya, mesti mengesampingkan ego bahwa aku selamanya akan benar.

Nuansa film Captain Fantastic merupakan kritik atas kemapanan, akan tetapi juga mempromosikan satu konsep yang stabil; kasih sayang. Konsepsi dasar keluarga, masyarakat, dan tujuan hidup yang dipahami kita sebagai orang awam seolah dipertanyakan di film ini. Hanya satu konsep yang sedari awal tidak berubah, yaitu kasih sayang Ben pada anak-anaknya. Pribadi Ben Cash yang pada akhirnya menyadari bahwa kasih sayang itu sudah terlalu besar hingga membutakannya akan apa yang anak-anaknya sebenarnya butuhkan, adalah kemajuan karakter yang penulis harap bisa menular ke para orangtua di luar sana, sekaligus penulis sendiri. Penulis tahu diri, sebagai seseorang yang belum memiliki pengalaman membesarkan anak, penulis tidak punya hak dan pengetahuan yang mendalam untuk membahas hal ini. Tentu saja masing-masing orang memiliki gaya parenting mereka sendiri-sendiri, dan selama dilandasi kasih sayang, penulis pikir itu sudah cukup. Namun, Captain Fantastic adalah salah satu gambaran drama keluarga yang diselesaikan dengan sangat baik. Kudos untuk Viggo Mortensen dan rekan-rekan!

--

--